Distraksi dan Sosial Media
Seberapa sering otak kita terbesit untuk mengecek notifikasi smartphone? Ada sebuah riset yang menunjukkan setiap harinya orang mengecek handphone 80-150 kali per hari. Ada juga yang mengatakan 100 sampai 200 kali sehari. Rata-rata orang di amerika ngecek hpnya setiap 12 menit sekali.
Distraksi adalah hal yang buruk. Otak kita cenderung untuk tidak menyukai hal yang memerlukan mental effort yang berat dan lebih suka kepada hal yang lebih rewarding. Contohnya, ketika kita mencoba fokus bekerja, otak kita selalu terdistraksi karena kita baru saja ngepost story di instagram—berharap akan ada banyak yang ngelike dan reply story kita. Akhirnya, bukannya belajar, setiap beberapa menit kita ngecek notifikasi instagram.
Like dan komentar (terutama pujian) itu adalah hal yang rewarding dan memanjakan kepuasan diri. Itu akan ngerelease yang namanya dopamine, hormon yang ngeregulasi mood dan reward. Semakin kita manjain dopamine, semakin kita bergantung kepadanya, dan semakin rusak attention span kita. Akhirnya, kalau semakin parah, akan menjadi disregulasi dopamin atau ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) karena standar happiness kita naik secara signifikan.
Ini akan menyebabkan siklus kematian. Misalnya, kita ngerokok cuma sesekali. Tapi karena kerjaan kita suntuk, kita crave more rewards untuk memberikan kita kesenangan. Akhirnya, kita mulai ngerokok lebih banyak, berubah jadi setiap hari. Ini akan membentuk habit dalam regulasi dopamin bahwa kita harus lebih sering mendapatkan reward tersebut. Semakin parah, itu akan menjadi adiksi—terasa ada yang kurang kalau gak main game.
Sosial Media itu Jahat
Villain kita kali ini adalah sosial media dan dunia digital. Orang-orang cenderung melebih-lebihkan benefitnya dan meremehkan efek buruknya. Sosial media bisa menjadi baik, tapi cenderung memberikan efek buruk tanpa kita sadari. Seperti Facebook, Instagram, X, mereka mendesain aplikasinya atau algoritmanya agar kita disuguhi konten yang kita sukai, yang membuat kita selalu memakai aplikasinya tanpa henti. Ada satu quote yang paling kusukai: “when something is free, you are the product.” dan “social media is not free, you pay with your free time.”
Rata-rata orang menghabiskan waktu 2.5 jam sehari dalam penggunaan media sosial. Kita selalu merasa banyak benefit yang bisa didapatkan dari media sosial yang kita gunakan. Merasa bisa dapat informasi terkini, takut ketinggalan info (alias FOMO). Riset-riset menunjukkan bahwa:
- Penggunaan medsos berat itu berkorelasi dengan attention span yang pendek.
- Penggunaan medsos berat (3 jam+) meningkatkan 27% resiko depresi pada remaja.
- Mental instabilitas. Ketika doomscrolling, kalo nemu post yang lucu atau keren, kita senang. Scroll dikit lagi, nemu post ragebait yang memancing kita debat berpuluh-puluh paragraf, membuat kita kesal.
- Merusak atensi. Dikit-dikit kedistract.
Inilah yang membuat attention itu mahal di dunia serba digital ini. Terlalu sering terdistraksi akan membuat otak kita menciptakan attention residue, ketika masih ada sisa-sisa attention dari kegiatan lain ketika kita pindah ke task yang lain, yang akhirnya mengurangi fokus dan performa.
Dopamine Detox
Apa yang kalian lakukan jika rumah kalian sedang mati listrik dan handphone kalian mati? Merasa seperti manusia purba yang sedang mengasah batu karena tidak tau mau ngapain?
Rata-rata orang mengecek media sosial selama 2.5 jam sehari. Coba pikirin, apa yang bisa kalian lakukan untuk mengisi 2.5 jam tersebut sebagai pengganti scrolling sosmed? Tiga tahun lalu, aku pernah mencoba puasa media sosial. Aku menghapus semua aplikasi media sosial kecuali Whatsapp untuk komunikasi keluarga dan teman dekat. Manfaat yang kudapatkan adalah:
- Bisa fokus berjam-jam tanpa terdistract
- Jauh lebih kreatif dan imajinatif. Kebosanan itu adalah hal yang langka dan bermanfaat.
- Lebih produktif.
Kita gak akan ketinggalan info kok. Ternyata, info-info di medsos itu gak sepenting yang kita bayangkan sehingga kita perlu mengeceknya tiap waktu. Kita bisa subscribe berita premium seperti Tempo, New York Times, The Atlantic, untuk bacaan berkualitas.
Sejak saat itu, aku membuka sosial media bukan karena keinginan to kill time, tapi memang karena secara sadar dan sengaja di waktu-waktu yang bukan waktu produktif.